Kamis, 02 April 2009

PENGENALAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Eko Budiyanto

A. Pendahuluan

Sejak manusia mengenal lingkungannya dia dihadapkan pada berbagai tantangan kehidupan baik yang berupa tuntutan fisik ataupun non fisik. Sesuai dengan sifatnya, manusia harus berinteraksi dan membutuhkan berbagai bantuan orang lain secara langsung ataupun tidak langsung. Kebutuhan berinteraksi ini mendorong manusia tersebut untuk berpindah ke tempat-tempat tertentu sesuai dengan kebutuhan tersebut jika kebutuhannya tidak dapat dipenuhi ditempat dia berada. Perpindahan ini dapat terus berlangsung secara sirkuler berbolak-balik dari tempat asal ke tempat tujuan ataupun bersifat nomaden dimana dia tinggal menetap di tempat tujuannya. Perpindahan yang terjadi terus menerus ini menimbulkan berbagai pengalaman seperti jalur-jalur dimana dia pergi, lokasi relatif suatu tempat dengan tempat lain, berbagai hal yang terdapat di suatu tempat, berbagai kejadian yang pernah terjadi dan lain-lain. Pengalaman ini suatu saat mungkin akan diceritakan pada orang lain sebagai suatu pelajaran. Pengalaman yang diceritakan pada orang lain tersebut merupakan sebuah rangkaian informasi yang dikemas dalam bentuk cerita. Orang yang mendengarkan cerita tersebut adalah penerima informasi yang selanjutnya mungkin akan menganalisa secara mental tentang dimana lokasi peristiwa yang diceritakan, seberapa jauh lokasi peristiwa tersebut dari posisi dia berada saat ini, bagaimana peristiwa tersebut terjadi, berapa pihak yang terlibat dan lain-lain.

Secara sederhana sebenarnya dapat dikatakan bahwa si penerima informasi di atas melakukan analisis secara spasial ataupun non spasial . Penerima informasi tersebut dalam benaknya membayangkan tentang unsur spasial yaitu dimana , dan seberapa jauh . Analisis spasial tersebut memberikan gambaran lokasi sebuah fenomena. Disamping hal tersebut, penerima informasi tersebut juga membayangkan unsur non spasial yang berupa bagaimana dan siapa . Kedua hal terakhir ini memberikan gambaran kualitas dan kuantitas fenomena tersebut. Paduan unsur spasial dan non spasial tersebut pada akhirnya membentuk serangkaian informasi utuh dalam benak si penerima tadi mengenai fenomena yang di sampaikan orang lain.

Dalam perkembangannya saat ini, informasi yang bersifat spasial tersebut menjadi dasar bagi analisa geografi modern. Penyampaian informasi dikemas dalam sebuah sistem informasi spasial yaitu sistem informasi geografis ( Geographic Information System ). Kerumitan fakta fenomena geografis teramat sulit untuk digambarkan secara deskriptif belaka terutama dalam kaitannya dengan perkiraan fenomena-fenomena yang akan terjadi sebagai akibat dari fenomena tersebut di masa sekarang. Pendekatan yang komprehensif dilakukan dengan penggambaran spasial menjadi sebuah peta baik manual maupun digital. SIG menggabungkan analisis spasial dengan penjabaran deskriptif sehingga dalam perkembangannya SIG banyak digunakan sebagai alat ataupun cara pandang dalam penyelesaian permasalahan di berbagai bidang. Informasi yang dihasilkan dalam SIG memberikan gambaran yang komprehensif, menyeluruh, sekaligus memberikan kemudahan dalam pendekatan terhadap fenomena. SIG menggunakan peta digital dan data atribut sebagai dasar berbagai analisisnya.

Pada masa terdahulu informasi spasial digambarkan dalam bentuk peta. Obyek-obyek di muka bumi digambarkan dalam bentuk titik, garis, dan area serta warna. Gradasi warna, ukuran titik, dan ketebalan garis menggambarkan kualitas fenomena atau obyek tersebut. Misal garis tebal menggambarkan jalan kelas I, garis dengan ketebalan lebih tipis menggambarkan jalas kelas II, dan garis yang lebih tipis lagi menggambarkan jalan kelas III dan seterusnya. Teknik pemetaan ini berkembang dalam ranah ilmu kartografi. Proses pemetaan dalam kartografi terbantu dengan munculnya teknik digital yang diaplikasikan dalam hal pemetaan ini yaitu Computer Assisted Cartography (CAC) . Teknologi digital ini sangat membantu proses pembuatan dan penampilan peta. CAC memiliki kemampuan yang baik dalam proses pembuatan, pengolahan hingga pencetakan akhir sebuah peta. SIG dikatakan sebagai hasil perkawinan CAC dengan teknologi basis data (Bernhardsen, 1992).

Peta sebagai media penggambaran obyek di lapangan

Sejalan dengan CAC, terdapat teknik digital lain yang hampir mirip dengannya yaitu Computer Assisted Drafting (CAD) . Sebenarnya CAD ini ditujukan sebagai alat bantu penggambaran teknik arsitektural. Dalam perkembangannya CAD banyak pula digunakan sebagai alat untuk menggambarkan berbagai peta seperti peta persil ataupun peta administrasi yang banyak ditemui diberbagai instansi di Indonesia. Namun demikian CAD tidak memiliki kemampuan analisis geografis seperti yang dimiliki oleh banyak software SIG (DeMers, 1997).

Banyak kemiripan di dalam ketiga teknologi tersebut, terutama berkaitan dengan hal perpetaan, tetapi terdapat perbedaan yang pada akhirnya perbedaan tersebut menjadikan ciri atau karakteristik yang membedakannya dengan SIG. Lalu apakah Sistem Informasi Geografis (SIG) itu ?

B. Sistem Informasi Geografis

Hingga saat ini terdapat banyak definisi mengenai Sistem Informasi Geografis tersebut. Tidak ada satu kata yang pasti mengenai SIG ini. Banyak pendapat yang mencoba mendekati dan menjawab apakah sistem informasi geografis itu? Berikut dicontohkan beberapa definisi mengenai SIG.

Rind (1988) mencoba mendefinisikan SIG dengan istilah :

“a computer system for collecting, checking, integrating and analyzing information related to the surface of the earth”

(Sistem komputer yang ditujukan untuk pengumpulan, pemeriksaan, pemaduan dan analisis informasi yang berkaitan dengan permukaan bumi)

Bernhardsen (1992) mendefinisikan SIG sebagai berikut :

information on the qualities of and the relationships between objects which are uniquely georeferenced

(informasi atas nilai kualitas dan hubungan antar obyek yang memiliki georeferensi unik)

DeMers (1997) menggunakan definisi SIG sebagai berikut :

“a series of subsystems within a larger system”

(serangkaian subsistem dalam sebuah sistem yang lebih besar)

Definisi-definisi di atas merupakan sedikit contoh dari beragamnya pengertian dari sistem informasi geografis pada saat ini. Tidak terdapat satu kata sepakat yang menjelaskan secara ringkas tentang sistem informasi geografis. Perbedaan disebabkan oleh latar belakang yang berbeda-beda dari pengguna teknologi ini. Seorang ahli hutan akan mendefinisikan berbeda dari seorang ahli geologi terhadap SIG. Demikian pula ahli hidrologi memberikan definisi yang berbeda dengan seorang ahli tata kota. Di samping perbedaan latar belakang tersebut, arah atau hasil akhir yang diharapkan oleh masing-masing pengguna juga menyebabkan perbedaan definisi yang diberikan pengguna tersebut pada SIG. Pengguna akan memberikan definisi yang “paling tepat” untuk diterjemahkan menjadi langkah aplikasinya.

ESCAP (1998) menemukan permasalahan - permasalahan yang menyebabkan sulitnya pembentukan definisi standar mengenai SIG antara lain:

• Tidak adanya pengertian umum atau kesepakatan atas model data spasial.

Pengertian tentang model data spasial dari satu produsen perangkat SIG dengan produsen lain sangat bervariasi secara nyata.

• Tidak adanya perangkat SIG saat ini yang secara pasti dapat diarahkan pada seluruh kasus.

Bervariasinya fenomena alami dan variasi multidisipliner pengguna SIG menyebabkan perbedaan pandangan mengenai data spasial dan operasionalisasi SIG.

• Adanya pemahaman bahwa definisi standar berada pada lahan aplikasinya.

Basisdata pada suatu wilayah pada umumnya telah terklasifikasi dan teridentifikasi sendiri-sendiri. Klasifikasi dan identifikasi terhadap suatu obyek yang sama berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, satu negara dengan negara lainnya. Sebagai contoh : kelas-kelas tanah berbeda antara satu negara dengan negara lain.

Pada kenyataannya memang pengguna sistem informasi geografis “tidak membutuhkan” definisi tentang SIG. Beragamnya definisi bukan berarti tidak ada kesatuan mengenai SIG. Dari seluruh definisi tersebut menjabarkan subsistem atau fungsi yang sama dalam sebuah tubuh SIG. Subsistem yang terdapat pada tubuh SIG tersebut adalah sebagai berikut :

• Subsistem input data

Subsistem ini adalah sebuah proses perolehan data baik data spasial ataupun data tabular dan deskriptif ke dalam SIG. Peroleh data berupa perekaman, penyiaman, duplikasi, konversi, dan digitasi data.

• Subsistem penyimpanan dan pengelolaan data

Subsistem penyimpanan dan pengolahan merupakan rangkaian proses menyimpan, menata, menyusun dan mengorganisasi data baik spasial, tabular dan deskriptif hasil dari proses perolehan data pada suatu tipe data tertentu menggunakan tata aturan tertentu. Subsistem ini menggunakan metode yang memungkinan kemudahan dalam proses pencarian dan pengubahan data tersebut.

• Subsistem manipulasi dan analisis data spasial

Subsistem ini merupakan hal yang sangat penting dalam SIG. Kemampuan analisis data spasial merupakan ciri pokok yang harus dimiliki oleh SIG. Subsistem ini yang membedakan dengan sistem informasi lain. Subsistem ini melakukan berbagai proses penggabungan, pemisahan, pengubahan, estimasi, dan pemodelan data spasial.

• Subsistem hasil dan pelaporan data

Hasil dari subsistem ini berupa laporan dalam bentuk peta-peta, uraian deskriptif, tabel, grafik, dan citra. Subsistem ini harus dapat diolah pada rangkaian kerja berikutnya pada waktu lain. Hasil dari subsistem ini bukan merupakan hasil akhir tetapi dapat sebagai data dasar dalam proses analisis yang lain. Dengan demikian hasil dari subsistem ini akan terus berputar dalam proses SIG selanjutnya. Hal ini yang membedakan SIG dengan CAC.

Empat subsistem tersebut disepakati sebagai isi dari SIG. Dalam hal ini SIG melakukan perolehan, mengorganisasi, menganalisis, dan memberikan laporan atas data spasial (UN). ESCAP (19..) menguraikan bahwa SIG menjelaskan tentang “informasi geografis”. Informasi geografis dalam hal ini berisi empat komponen pokok yaitu:

• Komponen posisi geografis :

Komponen ini berupa sistem koordinat geografis berbasis pada model matematis yang dapat ditransformasikan pada sistem yang lain. Koordinat geografis menunjukkan lokasi fenomena yang sering digambarkan dengan koordinat kartesius, easting-northing, ataupun latitude-longitude.

• Komponen spasial :

Komponen spasial ini merupakan suatu hubungan topologis antar komponen dari entitas data spasial seperti hubungan antara titik dengan titik, titik dengan garis, titik dengan area garis dengan garis, garis dengan area, dan area dengan area yang lainnya. Hubungan ini menjelaskan posisi relatif suatu fenomena, kaitan sebab akibat fenomena, arah, keterkaitan, dan lain-lain.

• Komponen atribut

Komponen atribut merupakan data deskribtif dari sebuah obyek data spasial. Komponen atribut ini dapat berupa data tabular, data deskriptif (seperti laporan dan sensus), gambar, grafik, bahkan foto atau data video. Atribut memberikan penjelasan mengenai kualitas dan kuantitas fenomena.

• Komponen waktu

Komponen waktu merupakan informasi fenomena antar waktu dari data spasial tersebut. Fenomena dijelaskan dengan pembandingan fenomena yang sama dalam waktu yang berbeda, dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Komponen ini memberikan penjelasan mengenai berbagai kemungkinan perubahan dan perkembangan kualitas ataupun kuantitas data spasial.

Dengan komponen informasi geografis ini, SIG mampu memberikan gambaran yang komprehensif tentang sebuah fenomena data spasial baik dari sisi lokasi, keterkaitannya dengan fenomena spasial lain, kualitas dan kuantitas fenomena dan perubahannya antar waktu.

Pendekatan ini tentunya sangat baik untuk sebuah analisis kewilayahan saat ini ataupun prediksi-prediksi di masa mendatang.

Keterkaitan data spasial dengan data atribut

SIG menggunakan peta sebagai dasar analisis spasial dengan dipadukan berbagai data atribut. Data spasial dan atribut ini dalam bentuk digital. SIG menggunakan data digital berbasis komputer dalam prosesnya, sehingga memungkinkan kemudahan pengolahan dan perubahan dimasa yang akan datang. Pada SIG modern saat ini, banyak tipe data yang dapat diakses dan diolah oleh sistem, disamping data vektor yang banyak digunakan pada SIG. Data raster seperti foto, citra satelit atau bahkan data video dapat diaplikasikan dalam SIG. Kemampuan mengolah tipe data ini memberikan nilai lebih pada SIG dalam penyelesaian permasalahan data spasial. Dengan kemudahan dan kemampuan ini, didapatkan banyak keuntungan dengan aplikasi SIG dalam analisis data spasial. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pengguna baik perorangan ataupun instansi yang menerapkan SIG sebagai alat ataupun cara pandang penyelesaian kasusnya.

C. Kartografi Tradisional dan SIG Modern

Hasil proses kartografi adalah peta yang digambarkan pada kertas. Proses kartografis ditujukan untuk menghasilkan peta . Obyek di lapangan disimbolkan dengan titik, garis dan area. Bentuk dan ukuran titik dan garis memiliki makna tertentu. Demikian pula dalam hal pewarnaan dan bentuk gradasinya yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu tingkatan. Dalam perkembangannya, kartografi yang menggunakan metode analog terbantu dengan munculnya teknologi Computer Assisted Cartography (CAC) . CAC yang merupakan perangkat bantu digital yang ditujukan untuk pembuatan peta dengan berbagai aturannya.

Seperti telah diungkapkan dimuka bahwa SIG merupakan perpaduan atau perkawinan antara CAC dengan teknologi basisdata. Pendapat lain mengatakan bahwa SIG merupakan sebuah langkah maju dari kartografi tradisional itu sendiri. Kesamaan umum yang diterima antara kartografi dengan SIG adalah sama-sama menghasilkan peta. SIG menggunakan peta digital sebagai dasar analisis spasial.

Subsistem pertama atau subsistem input pada SIG memiliki kesamaan dengan langkah pertama dan kedua pada proses kartografis yaitu pengumpulan data dan kompilasi peta (Robinson, 1995 pada DeMers 1997).

DeMers (1997) membandingkan antara proses kartografi yang diterapkan pada kartografi tradisional dengan SIG secara umum sebagai berikut.

Perbandingan Kartografi tradisional dengan SIG

Proses

Kartografi

SIG

Pengumpulan data

Foto udara, survey-survey, dll

Foto udara, survey-survey, dll

Pemrosesan data

Pemilahan, pengkelasan, merupakan proses linear

Pemilahan, pengkelasan, analisis merupakan proses sirkular

Produksi peta

Langkah akhir kecuali jika untuk reproduksi

Tidak selalu langkah akhir, peta dapat digunakan atau diproduksi lagi.

Hasil

Peta

Peta

Tabel di atas merupakan perbandingan umum antara proses kartografi dengan SIG. Kartografi berakhir dengan menghasilkan sebuah peta sedangkan pada SIG peta bukan hasil akhir secara pasti melainkan peta tersebut dapat digunakan untuk analisis. SIG melakukan pembuatan peta dengan ditujukan untuk analisis-analisis spasial tertentu.

Secara spesifik DeMers membandingkan kartografi dengan SIG berdasarkan pada masing-masing subsistem. Dengan menggunakan sudut pandang masing-masing subsistem tersebut diperoleh perbandingan yang lebih tajam antara proses kartografis dengan proses-proses dalam SIG. Perbandingan ini akan lebih memperjelas “posisi” masing-masing, kartografi dan SIG.

Perbandingan antara kartografi dengan SIG tersebut adalah sebagai berikut.

Kartografi

SIG

Subsistem Input

Digambarkan pada kertas

Sumber : Foto udara, survey, deskripsi visual, data sensus, data statistik, dll

Direkam pada komputer

Sumber : seluruh sumber kartografi, grafik garis digital, DEM, orthophoto digital, basis data digital, dll.

Subsistem penyimpanan dan pengelolaan data

Titik, garis, dan area digambarkan pada kertas dengan simbol

Pencarian dilakukan secara sederhana dengan pembacaan peta

Titik, garis, dan area disimpan sebagai grid atau pasangan koordinat pada komputer

Tabel atribut terkait dengan pasangan koordinat

Pencarian dilakukan dengan teknik pencarian

Subsistem manipulasi dan analisis data spasial

Membutuhkan perangkat bantu penggaris, planimeter, kompas, dan lain-lain

Memiliki keterbatasan atas data yang telah terpecah dan ditampilkan pada kertas

Menggunakan kemampuan komputer untuk pengukuran jarak, pembandingan, dan penjabaran isi basis data

Memungkinkan penggunaan data mentah dan dapat pula melakukan pemecahan-pemacahan ataupun klasifikasi ulang pada peta tersebut dalam analisis yang lainnya

Subsistem hasil dan pelaporan

Hanya dengan perangkat grafis

Memiliki banyak bentuk peta

Modifikasi dapat dilakukan menggunakan kartogram

Peta menggunakan satu tipe keluaran SIG

Memiliki banyak bentuk peta

Dapat memuat tabel-tabel, grafik-grafik, diagram, foto, dan lain-lain

D. Posisi SIG dalam Sistem Informasi

Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer berkembang pula banyak sistem informasi. Masing-masing sistem informasi tersebut memiliki karakteristik yang tertentu yang mencirikan fungsi dan kemampuan sistem informasi tersebut. Sistem informasi yang ada biasanya berbasiskan pada teknologi digital komputer dengan aplikasi bidang tertentu. Dalam masyarakat sistem informasi ini, SIG menjadi salah satu sistem informasi yang banyak digunakan.

Sistem informasi geografis (SIG) memiliki karakteristik pendekatan dan analisis secara spasial. Cara pandang spasial ini yang pada akhirnya memudahkan pengguna sistem informasi melakukan pendekatan, pemahaman dan pengambilan kesimpulan terhadap sebuah permasalahan yang muncul dari sebuah fenomena. Kemampuan SIG dalam pengolahan basisdata non spasial dan menggabungkannya dengan data spasial yang ada meningkatkan kemampuan performa SIG dibandingkan sistem informasi lain yang ada.

Untuk memahami posisi keberadaan SIG dibandingkan sistem informasi-sistem informasi lainnya dapat dilihat pada bagan berikut.

*) Land Information System

Bagan menampilkan posisi SIG dalam sistem informasi

Dari bagan tersebut di atas dengan jelas dapat dilihat posisi SIG dibandingkan sistem informasi yang lain. SIG merupakan bagian dari sistem informasi spasial. Sistem informasi spasial terbagi menjadi dua bentuk yaitu sistem informasi geografis dan sistem informasi non geografis. Sistem informasi non geografis memiliki obyek-obyek tanpa geokoding. Pada posisi ini Computer Assisted Drafting (CAD) dibangun.

SIG merupakan sistem informasi spasial yang memiliki topologi, geokoding, georeferensi. SIG dipilah menjadi dua kelompok yaitu LIS ( Land Information System ) dan Non LIS. Non LIS biasa digunakan untuk berbagai analisis yang berhubungan dengan aktifitas sosial, transportasi, ekonomi, dan politik seperti analisis penempatan lokasi pemadam kebakaran, sekolah, pasar, rumah sakit dan lain-lain. LIS berkaitan dengan sistem informasi lahan atau pertanahan. LIS dibagi menjadi dua kelompok yaitu LIS berbasiskan persil dan tidak berbasiskan persil. LIS berbasiskan pada persil dapat disamakan dengan Sistem Informasi Pertanahan yang berbicara mengenai kepemilikan lahan dengan segala atributnya. Sistem informasi ini juga dimanfaatkan untuk berbagai penelitian dan pengkajian kadastral. LIS tidak berbasis persil merupakan sistem informasi yang mengkaji lahan tanpa batas-batas persil seperti analisis sumber daya lahan. Aktifitas yang dapat dimasukkan pada kelompok ini sebagai contoh adalah penelitian ilmiah, perencanaan hutan, analisis longsor dan erosi, analisis bahaya banjir dan lain sebagainya.

E. Unsur Terkait SIG

Pada saat ini terdapat banyak pengguna SIG. Perkembangan teknologi digital yang mendorong peningkatan kemampuan SIG semakin meningkatkan peluang bertambahnya pihak-pihak pemakai sistem informasi ini. Banyaknya pemakai SIG tidak terlepas pula dari banyaknya unsur-unsur yang terkait dengan terbentuknya SIG. Unsur-unsur terkait dengan SIG dapat digolongkan dalam berberapa kelompok, yaitu: disiplin ilmu, pemanfaatan, tipe data, dan pengguna akhir dari SIG (Bernhardsen, 1992).

Kompleksitas unsur-unsur terkait ini menyebabkan banyaknya pihak-pihak terkait dengan SIG. Kompleksitas ini menempatkan SIG sebagai sebuah konsep sekaligus alat yang umum digunakan dalam penanganan berbagai macam permasalahan. Keterkaitan antara unsur-unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Unsur-unsur terkait dalam SIG

Disiplin ilmu yang terkait dengan SIG dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Ilmu komputer, kartografi, fotogrametri, survei, penginderaan jauh, geografi, hidrografi, statistik, perencanaan, dan lain-lain.

Pemanfaatan SIG dapat dilihat pada beberapa hal berikut: operasional dan pemeliharaan jaringan dan fasilitas umum, pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan perumahan, perencanaan pembangunan, perpetaan, dan lain-lain.

Terkait dengan data-data yang digunakan berupa peta digital, citra digital, foto-foto dan peta tersiam, data satelit, data lapangan, data video, data tabular, data deskriptif, sensus, dan lain-lain.

Terkait dengan pemakai adalah sebagai berikut tenaga teknik hidrologi, perencana, ahli geologi, politisi dan pengambil keputusan, surveyor dan lain-lain

Analisis Spasial 1

Eko Budiyanto

Pada saat sistem informasi geografis dimanfaatkan oleh operator, ada sesuatu yang diharapkan darinya. Salah satu hal yang diperoleh dari sistem informasi geografis adalah kemampuannya dalam menganalisis data spasial. Model analisis data spasial ini sering disebut sebagai analisis spasial. Namun kadang operator sistem informasi geografis tidak memahami apakah dia sudah melaksanakan suatu analisis spasial ataukah baru sekedar menjalankan suatu prosedur yang ada dalam sebuah perangkat lunak sistem informasi geografis. Mungkin pula sebaliknya, operator mungkin baru sekedar membuat data digitasi hingga layout peta, namun merasa sudah melakukan analisis spasial dengan menggunakan Sistem informasi geografis.

Sistem informasi geografis itu sendiri sering disamakan dengan perangkat lunak sistem informasi geografis yang sebenarnya adalah sekedar alat bantu. Tidak semua perangkat lunak menyediakan metode analisis spasial seperti yang dimaksudkan dalam sistem informasi geografis. Namun tidak bisa disalahkan jika pengguna sistem informasi geografis merujuk pada berbagai kemampuan perangkat lunak seperti Arc View dan lain-lainnya, untuk menjelaskan suatu pengertian tentang analisis spasial. Hal ini dikarenakan perangkat lunak tersebut dalam pembuatannya sengaja ditujukan salah satunya untuk analisis spasial.

Kemudian, apakah yang dimaksud dengan analisis spasial, dan apa sajakah bentuk analisis spasial tersebut ? Jawaban dari hal ini memang beragam. De Mers (1997) menyebutkan bahwa analisis spasial mengarah pada banyak macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana, klasifikasi, penataan, tumpangsusun geometris, dan pemodelan kartografis. Sementara Johnston (1994) secara sederhana mengatakan bahwa analisis spasial merupakan prosedur kuantitatif yang dilakukan pada analisis lokasi. Fotheringham (2005) memilah spasial analisis dalam dua bentuk yaitu analsis spasial berbasis sistem informasi geografis sederhana (Simple GIS-based spatial analysis) dan analsis spasial berbasis sistem informasi geografis lanjut (Advanced GIS-based spatial analysis). Dalam artikel ini diuraikan tentang analisis spasial yang termasuk dalam Simple GIS-based spatial analysis.

Analisis spasial dalam kelompok ini merujuk pada kemampuannya dalam melakukan perhitungan dan menerangkan keterkaitan spasial antara fitur yang berbeda dalam sebuah basis data, menerangkan keterkaitan data dalam suatu layer yang sama ataupun antar layer yang berbeda.

1. Pemilihan fitur berdasar atribut (feature selection by attribute)

Analisis spasial dalam hal ini berupa pemilihan fitur pada data spasial dengan menggunakan data atributnya. Sebuah data spasial memiliki data atribut yang merupakan informasi dari masing-masing poligon. Data spasial berikut adalah peta administrasi Kabupaten Sleman Propinsi DIY. Masing-masing poligon memiliki atribut nama kecamatan. Operasi analisis spasial dapat berupa pemilihan fitur berdasarkan atribut nama kecamatan pada masing-masing poligon tersebut.

Operator dapat melakukan pencarian sebuah kecamatan dengan proses formula tertentu dalam perangkat lunak. Hasil dari proses pencarian berdasarkan atribut menghasilkan informasi seperti dalam gambar berikut.

2. Pemililihan fitur berdasar interseksi geometris (Feature selection by geometric intersection)

Analisis spasial dalam bentuk ini dapat dilihat pada contoh berikut:

Gambar diatas menunjukkan peta jaringan jalan yang melintas di seluruh wilayah kabupaten Sleman. Garis tebal menunjukkan batas administrasi, sedangkan garis tipis menunjukkan jaringan jalan. Suatu saat diinginkan informasi tentang jaringan jalan yang hanya berada di kecamatan Ngaglik saja, sedangkan jaringan jalan yang berada di luar daerah kecamatan tersebut diabaikan. Kasus ini mengarahkan pada sebuah proses operasi pemilihan fitur dalam kaitannya dengan fitur lain. Fitur yang dipilih adalah jaringan jalan dan fitur pembatasnya adalah batas administrasi. Dengan analisis ini akan didapatkan informasi tentang jaringan jalan yang melintas di kecamatan Ngaglik tersebut. Hasil proses operasi dari analisis spasial ini menghasilkan informasi spasial seperti dalam gambar berikut :

3. Buffering

Buffering menunjukkan lokasi disekitar sebuah fitur. Hasil analisis buffer ini adalah bentukan poligon di sekitar obyek. Zonasi nilai lahan, Area sempadan sungai, pemetaan area perluasan jalan, zona pembebasan jalur listrik tegangan tinggi, dan lain-lain adalah contoh pekerjaan yang biasanya menggunakan buffering.

Contoh kasus buffering adalah sebagai berikut. Gambar diatas adalah jaringan jalan arteri, kolektor dan lokal. Jalan kolektor pada gambar tersebut adalah jalan yang disimbolkan dengan garis tebal. Suatu saat akan dilakukan zonasi nilai lahan, dimana lahan-lahan yang berada 100 meter di sekitar jalan kolektor tersebut termasuk lahan kelas satu. Hasil buffering dari kasus tersebut didapatkan seperti gambar di bawah ini.

Buffer jalan kolektor disimbolkan dengan poligon memanjang di sepanjang jalan kolektor tersebut. Jarak tepi poligon buffer dengan as jalan adalah sejauh 100 meter. Dalam operasi buffer ini, lebih lanjut dapat dilakukan perhitungan luas poligon tersebut. Perhitungan nilai pajak adalah contoh kasus yang memerlukan perhitungan luas area buffer dengan dioverlaykan pada peta persil tanah.

4. Penggabungan ( Union )

Union merupakan suatu operasi analisis spasial yang menggabungkan informasi sebuah fitur dengan fitur lain. Sebagai contoh, ingin diketahui penggunaan lahan yang ada pada area buffer jalan kolektor. Kasus ini dapat dilakukan dengan menggunakan operasi union atau penggabungan fitur.

Operasi union akan menumpangsusunkan peta penggunaan lahan dengan poligon buffer jalan kolektor. Data atribut dari kedua data tersebut digabungkan pada data baru hasil operasi union ini. Hasil dari operasi union ini dapat dilihat seperti pada gambar berikut.

Data atribut dari poligon tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Atribut area buffer dengan penggunaan lahan

Pada atribut tersebut dapat dilihat adanya penggunaan lahan yang berada dilokasi buffer dan penggunaan lahan yang tidak di lokasi buffer. Penggunaan lahan yang berada dilokasi buffer dapat dilihat dari kolom lokasi_buf . Pada kolom lokasi_buf tersebut terdapat nilai 100 dan 0. Penggunaan lahan yang bernilai 100 berarti penggunaan lahan yang berada pada lokasi buffer100 meter. Sementara penggunaan lahan yang memiliki nilai 0 berarti diluar area buffer.

Disarikan dari :

Fotheringham. Stewart. A., Quantitative Geography- Perspective on Spatial Data Analysis, SAGE Publication, London, 2005

Perolehan Data Spasial

Eko Budiyanto

Data spasial merupakan dasar operasional pada system informasi geografis. Hal ini terutama dalam system informasi geografis yang berbasiskan pada system digital computer. Namun demikian pemikiran tentang pemanfaatan data spasial ini sebenarnya tidak hanya dilakukan pada operasional system informasi geografis digital yang berlaku pada saat ini. Ptolomeus mencoba melakukan pemetaan pada awal abad ke dua. Perkembangan yang cepat dalam teknologi digital computer saat ini memacu perkembangan pemanfaatan data spasial dalam bentuk digital. Kemudahan akses, manipulasi, dan duplikasi data hingga analisis terhadap data spasial menjadi sangat mudah dengan bantuan teknologi digital ini.

Data spasial memberikan amatan terhadap berbagai fenomena yang ada pada suatu obyek spasial. Secara sederhana data spasial dinyatakan sebagai informasi alamat. Dalam bentuk lain data spasial ini dinyatakan dalam bentuk grid koordinat seperti dalam sajian peta ataupun dalam bentuk piksel seperti dalam bentuk citra satelit.

Data spasial diperlukan pada saat-saat harus merepresentasikan atau menganalisis berbagai informasi yang berkaitan dengan dunia nyata. Pengambilan data dari dunia nyata tersebut sebanyak mungkin dapat menjelaskan tentang variasi fenomena serta lokasi fenomena tersebut berada. Dunia nyata yang begitu luas pada kenyataannya tidak mungkin diambil secara utuh menjadi sebuah data spasial. Dengan demikian data spasial adalah sebuah gambaran sederhana dari dunia nyata yang sebenarnya. Dalam system informasi geografis data spasial tersebut dapat menggambarkan sebaran dan lokasi fenomena.

1. Digitasi

Proses perolehan data spasial dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang paling dikenal adalah dengan cara digitasi. Proses digitasi akan mengubah obyek titik, garis, atau poligon analog pada sebuah hard copy menjadi bentuk data vektor digital.

Pada awal perkembangan system informasi geografis, proses digitasi banyak dilakukan dengan menggunakan meja digitasi atau sering pula dikenal dengan tablet digitasi. Peta analog yang akan didigitasi diletakkan pada meja digitasi. Tanda silang pada pointer meja digitasi digunakan untuk memandu mengarahkan digitasi. Koordinat posisi pointer meja digitasi tersebut tercatat dan ditransfer ke dalam komputer, untuk selanjutnya diolah menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis seperti Arc Info. Sumber data analog yang didigitasi dapat berupa peta ataupun foto udara. Dalam proses digitasi menggunakan meja digitasi ini, ketepatan atau akurasi sangat ditentukan oleh ketelitian operator dalam melakukan digitasi. Tingkat kesulitan yang diperoleh dengan menggunakan cara ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan proses digitasi menggunakan metode on-screen.

Proses digitasi on-screen adalah digitasi yang dilakukan pada layar monitor komputer dengan memanfaatkan berbagai perangkat lunak sistem informasi geografis seperti Arc View, Map Info, AutoCad Map, dan lain-lain. Data sumber yang akan didigitasi dalam metode ini tidak dalam bentuk peta analog atau hardcopy. Data sumber tersebut terlebih dahulu disiam (scan) dengan perangkat scanner. Penyiaman ini akan membentuk sebuah data yang mirip dengan hardcopy yang disiam, dalam bentuk data raster dengan format file seperti .jpg, .bmp, .tiff, .gif, dan lain-lain. Data tersebut berujud file gambar raster yang dapat dilihat dengan menggunakan berbagai perangkat lunak pengolah gambar. Pada perangkat lunak sistem informasi geografis, data raster tersebut ditampilkan di layar monitor sebagai layer raster. Data raster dijadikan latar belakang (backdrop) dalam proses digitasi. Digitasi dilakukan dengan cara membentuk serangkaian titik atau garis menggunakan pointer yang dikendalikan melalui mouse, pada layar komputer di sepanjang obyek digitasi. Setiap obyek spasial dapat direkam sebagai layer-layer yang berbeda. Misal, dari sebuah data raster peta administrasi terdapat fenomena jalan, sungai, dan batas administrasi. Ketiga fenomena tersebut dalam proses digitasi sebaiknya dipisahkan menjadi layer-layer jalan, sungai, dan administrasi, sehingga masing-masing fenomena dapat dipisahkan sebagai file yang berdiri sendiri.

2. Terestris

Perolehan data spasial lain yang bersifat pengukuran terestrial sering dilakukan dengan menggunakan theodolith. Pengukuran dengan menggunakan theodolith ini dapat menghasilkan serangkaian data spasial berupa jarak, sudut, ketinggian relatif serta posisi relatif dari sebuah obyek dengan obyek lainnya. Pemetaan kontur untuk penggunaan tertentu seperti perencanaan jalan, pembangunan dam, gedung, dan lain-lain sangat memerlukan metode pengukuran ini. Alat theodolith ini memanfaatkan perangkat optis untuk pengambilan data. Dalam theodolith digital yang saat ini banyak digunakan, posisi azimut dapat diketahui pada perangkat digital yang terpasang.

3. Global Positioning System

Hal yang sama dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat GPS (global position system). Perangkat GPS yang digunakan dalam pengambilan data sebenarnya adalah perangkat penangkap sinyal (receiver) dari beberapa satelit GPS yang mengorbit di atas lokasi survey. Panduan dari sinyal satelit GPS memberikan informasi lokasi receiver GPS tersebut. Berbagai permasalahan sering muncul dengan perangkat bantu GPS ini seperti masalah akurasi pengukuran. Keraguan sering muncul atas data yang didapatkan pada receiver GPS. Hal ini berkaitan dengan jenis receiver GPS yang digunakan untuk pengukuran, kondisi atmosferik, kondisi keterbukaan lokasi pengukuran, topografi, dan lain-lain. Dalam kondisi tertentu nilai kesalahan yang ada dapat ditolerir. Nilai kesalahan yang sering muncul ini sering dapat diminimalisir dengan memaksimalkan pemilihan waktu pengambilan data yang tepat seperti dengan memperhatikan kondisi cuaca atau atmosfer, penggunaan jenis receiver GPS yang baik dan lain-lain.

4. Citra Penginderaan Jauh

Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, data spasial dapat diperoleh melalui foto udara digital, citra satelit ataupun radar. Data spasial yang dihasilkan dari metode ini berupa data raster. Informasi spasial berupa nilai piksel. Pada citra satelit nilai piksel adalah gambaran nilai pantulan obyek di muka bumi yang diterima sensor satelit. Setiap satelit memiliki variasi pemisahan panjang gelombang tangkapan pantulan spektral (bandwidth). Demikian pula dalam kaitannya dengan resolusi spasialnya atau luasan wilayah yang terrekam dalam satu piksel. Sebuah piksel pada citra satelit menggambarkan nilai dominan pantulan obyek pada suatu luasan tertentu.

Disarikan dari :

Fotheringham. Stewart. A., Quantitative Geography- Perspective on Spatial Data Analysis, SAGE Publication, London, 2005

Global Wrming, Oh No


Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?

Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?

Global Warming

Global Warming

Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.

Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).

Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.

Global Warming

Global Warming

Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.

Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.

Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 - yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.

Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.

Perlu kerja-sama internasional untuk bisa mengatakan bahwa memang manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global

Dari gambar terlihat bahwa karbon-dioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Dari masa pra-industri yang sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Angka ini melebihi angka alamiah dari studi perubahan iklim dari masa lalu (paleoklimatologi), dimana selama 650 ribu tahun hanya terjadi peningkatan dari 180-300 ppm. Terutama dalam dasawarsa terakhir (1995-2005), tercatat peningkatan konsentrasi karbon-dioksida terbesar pertahun (1,9 ppm per tahun), jauh lebih besar dari pengukuran atmosfer pada tahun 1960, (1.4 ppm per tahun), kendati masih terdapat variasi tahun per tahun.

Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Peningkatan konsentrasi metana (CH4), dari 715 ppb (part per billion= satu per milyar) di jaman pra-industri menjadi 1732 ppb di awal 1990-an, dan 1774 pada tahun 2005. Ini melebihi angka yang berubah secara alamiah selama 650 ribu tahun (320 - 790 ppb). Sumber utama peningkatan metana pertanian dan penggunaan bahan bakar fosil. Konsentrasi nitro-oksida (N2O) dari 270 ppb - 319 ppb pada 2005. Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dari agrikultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang terbesar pada pemanasan global.

Kontribusi antropogenik pada aerosol (sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat and debu) memberikan efek mendinginkan, tetapi efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon (nitrogen oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari (albedo), akibat perubahan permukaan Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar Matahari (solar irradiance) tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global.

Global Warming

Global Warming

Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa memang manusia yang berperanan bagi nasibnya sendiri, karena pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia sendiri.


Lapindo, how about you

28 Mei 2006, gas hidgrogen sulfida keluar dari rig eksplorasi gas di Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. Tak berapa lama, lumpur panas dan air panas keluar dari tanah dan menutupi lahan dengan kecepatan ribuan liter setiap menit. Dalam waktu tak lama, lumpur telah merendam desa-desa sekitar.

Selama sembilan bulan lumpur telah melebihi satu juta barel setiap hari. Menghasilkan kolam lumpur dengan kedalaman sampai 10 meter, menjadikan desa-desa tak lagi dapat ditinggali, pabrik-pabrik tutup, lahan pertahuan musnah, dan ribuan orang harus meninggalkan rumah mereka.

Dua tahun kemudian, meskipun telah dialiran lumpur telah berkurang, belum ada kemajuan yang signifikan dari pemerintah untuk menghentikannya. Sementara aliran lumpur terus berlanjut untuk menghancurkan kehidupan masyarakat. Diperkirakan bahwa 11.000 orang kehilangan rumah dan ribuan orang mengalami masalah kesehatan yang serius akibat gas berbahaya yang menyertai aliran lumpur. Setidaknya seratus kematian secara langsung berkaitan dengan lumpur.

Pemerintah Indonesia saat ini telah menangguhkan penuntutan kepada Lapindo Brantas, yang menggunakan beberapa ahli untuk menyatakan penyebab Lumpur disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Beberapa ahli menyangkal teori tersebut dan telah menghasilnan berbagai laporan dan artikel yang menyatakan bahwa lumpur tersebut merupakan akibat kesalahan manusia.

Friends of the Earth bersama WALHI mengajak ibu, bapak dan kawan-kawan untuk mengirimkan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia agar meminta pertanggungjawaban Lapindo Brantas Inc untuk menutup semburan lumpur dan memberikan kompensasi kepada korban, serta memperbaiki kerusahan yang terjadi, mengembalikan hak-hak dasar korban Lapindo, seperti pakaian, pangan, dan tanah, serta mengantisipasi meningkatnya korban.

Silahkan mengunjungi laman: http://www.foei.org/en/get-involved/take-action/stop-the-indonesian-mud-flow/ untuk mengirimkan email protes.

Save Our Earth guys

Bumi besar sekali manfaatnya bagi kita, so jagalah bumi kita. coba bayangin kalo bumi g ada kita mau tinggal di mana? Manusia emang banyak maunya, yang merusak tapi juga yang benerin sich. sebagai mahluk yang baik kembali ke masa-masa saat kita begitu menyayangi bumi g ada salahnya khan. Mari sayangi bumi, jangan biarkan bumi menangis, buat bumi tersenyum kembali dengan banyak menanam pohon. cayo.cayo!!!!!!!!!!!!!!